Jumat, 06 Januari 2017

Jangan Subsidi Partai Politik


Cahyo Kumolo pernah mewacanakan kembali tentang pemberian subsidi bagi parpol. Bahkan, di luar nalar wajar ketika subsidi dari APBN itu mencapai Rp 1 triliun per tahun bagi setiap parpol sesuai perolehan suara saat pemilu. Fantastis memang, dan tak aneh jika bikin “ngiri” bagi sebagian tokoh organisasi massa. Salahudin Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dalam akun twitter-nya berkomentar: ”Tjahjo Kumolo usul supaya partai dapat anggaran Rp 1 triliun per tahun. NU dan Muhammadiyah juga perlu dapat anggaran sebesar itu.”



Kelakar dari adik kandung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu tidak hanya sekedar. Gus Solah berkomentar merepresentasikan wajah seluruh masyarakat NU: rakyat Indonesia. Rakyat yang selama ini hanya menjadi korban, sekali lagi korban. Korban pilot projec kebijakan, korban ketika mereka hanya ditempatkan sebagai sumber dukungan politik, sumber legitimasi penguasa dan eksploitasi pengusaha. Wajar jika gagasan yang tampak mulia dari politikus PDI-P itu berbuah kritik di mana-mana, termasuk di media sosial. Netizen banyak mengkritik, bahkan mengecam rencana itu.

Terbukti dari hasil riset yang dilakukan Band-It periode 9-16 Maret 2015, persoalan dana parpol ini mendapat sentiman negatif 14.9% dan sentimen positif hanya 2.9% dari keseluruhan isu politik. Artinya, masyarakat kita tidak menghendaki rencana pemberian subsidi kepada parpol dengan berbagai macam alasan. Dalihnya pak menteri memang mulia, yakni untuk mengikis budaya korupsi yang selama ini bersarang dan beranak pinak di tubuh parpol. Berdemokrasi di zaman ini mahal dan itulah salah satu – jika bukan utama – penyebab marakanya korupsi politik.


Simaklah, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang kandidat politik untuk memperoleh “tiket” pencalonan dari parpol, menyewa konsultan politik, kampanye lapangan balanja iklan, atau bahkan “memainkan” politik uang. Banyaknya pejabat atau politikus yang terjerat kasus korupsi menjadi penegas bahwa sebagian dana yang dikumpulkan itu melalui cara-cara ilegal: korupsi. Persoalan pengelolaan uang di tubuh parpol memang selalu remang-remang. Itu sejalan dengan tesis Adam Przeworski (2007) bahwa sesuatu yang luput dari perhatian dalam demokrasi modern adalah mengenai akses dan penggunaan dana berpolitik.

Berpartai politik memang membutuhkan topangan dana. Kita mengapresiasi gagasan bantuan subsidi parpol oleh negara., karena memang teks undang undang mengakomodir tentang itu. UU No 2/2011 tentang Partai Politik menyebut sumber dana parpol yang legal berasal dari: iuran anggota, bantuan negara (APBN dan APBD), dan sumbangan pihak luar (swasta) yang tidak mengikat. Pembiayaan parpol oleh negara sudah dilakukan, seperti di Jerman, Swedia, Israel, Kanada, Australia, Austria, Spanyol, Prancis, Jepang, Meksiko, dan Belanda.

Menurut survei ACE Electoral Network terhadap 180 negara, sebanyak 58% negara membiayai parpol melalui anggaran negara. Pembiayaan itu dapat dialokasikan melalui hibah langsung maupun pembiayaan tak langsung. Namun, pembiayaan parpol di beberapa negara ini tidak bisa serta merta diterapakan, mengingat Indonesia memiliki konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi yang berbeda. Kita memang membutuhkan parpol yang mandiri dan tidak korupsi sebagai infrastruktur bagi penyangga tegak demokrasi. Jika parpol kita sehat maka demokrasi akan semakin bermartabat.


Persoalan dana parpol harus melibatkan kajian serius dari berbagai macam aspek dan multiplier effect yang ditimbulkan. Selain manajeman keuangan yang kredibel, transparan dan akuntabel, hal penting lain yang perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana kesiapan “budaya politik” parpol kita. Kekagetan parpol dalam menerima dana RP 1 triliun hanya akan menjebak suasana kejiwaan elite politik untuk menyimpangkannya. Dalih agar tidak korupsi belum sepenuhnya bisa dijadikan justifikasi bagi pemerintah untuk membiayai parpol.

Belum ada riset ilmiah yang membuktikan bahwa pendanaan parpol oleh negara menurunkan angka korupsi politik. Sebaliknya, kita khawatir jika pendanaan parpol itu justru akan membuat parpol berjamaah “membunuh” demokrasi dengan membiarkan diri mereka terjerembab ke dalam lubang kartelisasi. Alangkah baiknya jika wacana pak menteri itu, selain bersandar pada “teks” undang-undang juga perlu berkiblat pada“konteks” budaya politik parpol kita saat ini. Jangan sampai wacana dana parpol itu hanya mengisahkan aib berpartai politik. Tragis!!