artikel tentang
fayakhun andriadi yang membahas "Bukannya Anas tidak tahu akan dampak yang terjadi jika sumur tua itu dibongkar. Akan tetapi ia sudah kadung mabuk harta dan kuasa yang sesungguhnya telah menggelapkan batinnya. Dengan harta dan kekuasaan, tidak ada yang tidak mampu dibelinya. Semuanya akan terbeli."
...
"Sebenarnya sumur itu terletak di atas bukit. Tentu sulit membangun sumur di ketinggian, kecuali terdapat sumber air yang besar di sana. Dahulu kala, sumur ini dibangun oleh seorang petinggi kerajaan Blambangan. Harapannya dengan membangun sumur itu, maka akan mampu menghidupi orang banyak dengan air yang bersih, segar dan sehat. Karena itu sumur ini dijaga dengan ketat, agar tidak ada satupun orang yang merusaknya. Maka sebagai alat untuk membentengi sumur ini, Pangeran Jogopati telah menanam gaman emas yang sakti mandraguna. Mungkin karena zaman telah berubah, kesaktiannya sudah tak lagi berguna, terutama ketika melawan birahi politik yang meluap hebat.
Dari generasi demi generasi, lurah demi lurah, bupati demi bupati, telah menyepakati hukum adat masyarakat setempat bahwa sumur itu adalah sumur yang harus dilestarikan keberadaannya. Itulah peninggalan nenek moyang mereka satu-satunya dan merupakan sumber kehidupan yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Berdasarkan pada hukum adat ini, maka oleh bupati pertama diterbitkan peraturan penjagaan sumur keramat. Sejak saat itu, tak ada satu pun orang yang berani melanggarnya. Di samping itu juga berkembang cerita-cerita tentang makhluk-makhluk gaib yang membuat celaka bagi siapa saja yang berniat jahat atau hendak merusak di sekitar areal sumur."
- Potongan tulisan ini dinukil dari cerpen yang bertajuk "Lurah Anyar" (2017) diterbitkan secara online oleh nalarsehat.com. Semoga bisa menjadi kudapan ringan, pelengkap takjil di bulan Ramadhan yang mulia ini. Selamat membaca!
*Turut mengundang para sahabat untuk membaca dan berkomentar. Rosdi Bahtiar Martadi, Roy Murtadho, Muhammad Al-Fayyadl, Ahmad Fatoni Said, Hayyik Sirrul Asror, Agnes Deva RK, Bang Ical, Idham Choliq, Medis Cinta Nusantara, Djoko Supriyanto, Denny Mizhar, Djoko Saryono, Indra Fery, Surti Handayani, Syamsuddin M Tinggal, Zacky Umam, Hasnan Singodimayan, Himawan Sutanto Richwan, Edi Slamet, Psif Umm, Muhammad Alwi, Nafi' Muthohirin, Muhammad Andi, Ika Ningtyas, Akbar Saja
kang
fayakhun andriadi
Kang Paidi, Kang Sairi dan Cak Bejo ngobrol di warung kopi pertigaan jalan. Biasa…, mereka ngobrol ngalor-ngidul sekaligus ngerasani lurah anyar yang kata orang-orang pasar, cukup berprestasi.
“Ternyata puteranya Kyai Imik tho…lurah anyar itu. Siapa namanya? Lali aku.” Tanya Kang Paidi.
“Anas… namanya Anas…” Tegel, seorang pemuda luntang-lantung tiba-tiba menimpali. “Kopi pahitnya secangkir Mbok Jem…” selorohnya tanpa jeda.
Kyai Imik adalah kyai kampung yang kharismatik. Karena kharismanya itulah, kehidupannya tampak serba cukup. Setidaknya cukup untuk memiliki isteri empat, beberapa mobil dan rumah yang sederhana di tengah pesantren. Anas adalah anak pertama dari isteri pertama sang kyai.
Memang setelah lulus mondok di kota, di pesantren ternama di negeri ini, Anas menjadi pimpinan organisasi kemasyarakatan. Selain pandai, watak kepemimpinan ayahnya mengalir di dalam nadi Anas. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, tiba-tiba ia didaulat sebagai ketua takmir masjid jami'. Itu adalah jabatan yang sangat prestisius.
Dalam perkara politik, Anas cukup tangguh. Ketangguhannya tercermin pada posisinya yang selalu aman, bertengger di atas dan jarang berbuat gaduh dengan sesama pencari kursi kekuasaan. Sifat kompromisnya mampu memikat banyak kalangan, terutama orang-orang pasar.
Sebenarnya, sebagai pribadi, ia adalah orang yang baik hati. Selain rutin shalat berjamaah, memimpin pengajian dan tahlil di kampung, ia juga rajin berderma. Apa yang dilakukannya sehari-hari ini, tidak jarang menjadi topik pembicaraan di pasar. Di pasar pula inilah segala istilah yang dianggap baik atau tidak, diciptakan secara semena-mena, dari mulut ke mulut dan mungkin, dari hati ke hati.
Setelah menyeruput kopi dan menggigit pisang goreng panas, Tegel bercerita, “Anas itu sempurna sebagai pemimpin kita saat ini. Orangnya baik, shaleh dan dermawan. Beliau mengerti apa kebutuhan warga kampung.”
“Oh…ngono tho…” Terima Kang Paidi merespon omongan Tegel.
“Anu Kang Sairi, isteri sampeyan belum sembuh tho? Masih sakit? Kalau gak keliru sakit pinggang ya? Saran saya, minta bantuan saja ke Lurah Anas. Insya Allah, kalau benar yang diceritakan Tegel, beliau akan senang membantu.” Lanjut Kang Paidi membuka topik selanjutnya.
“Wah… jangan ‘lembur malam’ setiap hari Kang Sairi, mbok ya istirahat… sehari dua hari gitu setiap minggu… jangan diforsir! Ha ha ha…” Timpal Tegel tanpa bisa dicegah.
“Lha itu masalahnya Di…Paidi…, sebetulnya bukan hanya isteri saya yang sakit pinggang, tapi sudah banyak sekali orang kampung sini yang juga sakit pinggang. Mungkin ini karena wabah. Saya sendiri sudah mulai ikut pegal-pegal.” Jawab Kang Sairi.
“Dua hari yang lalu, isteri saya pergi ke Mbah Seger untuk pijat. Katanya tidak ada yang keliru dengan ototnya. Menurutnya, sepertinya kurang minum. Lalu sudah datang juga ke kedai jamunya Wak Waras. Kata Wak Waras tidak bisa disembuhkan dengan jamu pegel linu. Menurutnya juga kurang minum. Sore harinya, akhirnya pergi ke dokter Suwarsih. Anehnya, juga tidak ada obat, pil, kapsul dan puyer yang dapat meredakannya. Menurut diagnosa dokter, itu karena tubuhnya kurang air. Jadi hanya perlu banyak minum… Kalau tidak minum, ginjalnya bisa rusak. Kalau sudah rusak, hati, jantung, paru-paru dan alat vital lainnya juga ikut rusak.” Kang Sairi berkisah.
“Wah, jangan khawatir bapak-bapak… Saya baru saja kulak air mineral galon satu truk dari kota sebelah. Tidak perlu mahal kalau beli ke saya, karena teman sendiri. Cukup menambahi biaya transport saja lah…” Cak Bejo mengambil kesempatan dalam kesempitan. Padahal, tentu saja ia sama sekali belum membeli air dari kota sebelah. Mungkin akan direncanakan saat obrolan kopi ini selesai. Otak dagangnya sangat kreatif memang.
Waktu sudah menunjuk pukul 12.00 dini hari. Orang-orang kopian ini, satu sama lain, secara bergantian sudah menguap.
“Hhhuuaaah… Ayo kita pulang, ngantuk. Besok libur dulu ya, malem Jum’at.” Kang Paidi menginisiasi bubarnya cangkrukan kopi ini. Sebenarnya, bubar minum kopi kali ini terlalu dini. Biasanya mereka baru bubar saat adzan subuh dikumandangkan.
Sungguh mengagetkan. Di pagi buta keesokan harinya, ternyata pasar sepi. Hampir tidak ada aktivitas jual beli, kecuali hanya satu dua orang penjaga pasar saja yang seliweran.
“Ada apa ini? Kok pasar sepi kayak gini?” Tanya Paidi pada Satpam Pasar.
“Anu Kang, banyak orang sakit punggung. Mereka sudah tak mampu lagi berdiri, berjalan dan bahkan beranjak dari ranjangnya.” Jawab Satpam itu.
Benarlah bahwa penyakit kurang air ini betul-betul mewabah. Bahkan, Mbok Nem, isteri Cak Bejo dan beliau sendiri sudah tidak keluar rumah sejak pulang dari kopian. Ini semacam pagebluk yang biasanya disebabkan oleh pelanggaran terhadap hal-hal yang prinsipil.
Ba’da Isya’, seperti biasa, Kang Paidi, Kang Sairi dan Tegel mangkal di warungnya Mbok Jem. Kali ini Cak Bejo absen. Mereka menyadari bahwa, ada sesuatu yang kurang beres sedang terjadi di kampungnya. Terutama, semenjak Gus Anas menjabat sebagai Lurah.
“Saya ini bukan orang sekolahan Kang…, tapi saya yakin, wabah ini terjadi karena kita kekurangan air. Sudah tidak ada lagi aliran air karena sumbernya sudah rusak. Sumbernya kan ada di sumur keramat. Sumur itu dulu menjadi tempat bertapa Pangeran Jogopati, anak keturunan Prabu Tawangalun, Ratu Blambangan.” Kang Sairi mengajukan analisisnya.
“Sumurnya dijual, ditukar emas!” Tegel menyahut.
“Iyah, kita kurang air betul akhir-akhir ini. Saya juga harus membeli air galon yang sangat mahal dari kota sebelah. Untuk mendapatkan air, bukan hanya jauh dan susah, tetapi juga mahal. Kalau begini terus, besok malam saya akan menutup warung ini. Saya sudah tidak punya air lagi untuk membuat kopi.” Mbok Jem mencurahkan isi hatinya.
Kang Paidi belum beranjak dari menyeruput kopi pahitnya. Ia sepertinya enggan melayani opini-opini orang-orang di sekitarnya. Ia masih berpikir, bahwa sebenarnya apa yang dilakukan Lurah Anyar itu sudah betul. Dengan menjual sumur keramat, kepentingan warga masyarakat justru terakomodir. Terutama, mengenai pembangunan langgar-langgar di seluruh pejuru desa ini, di wilayah Bukit Tujuh.
“Itu bukan emas biasa Gel!” Respon Kang Paidi cepat pada Tegel. “Itu gaman peninggalan kerajaan Blambangan.” Lanjutnya.
“Sebenarnya, mbok ya dipikirkan dulu matang-matang. Apa yang dilakukan Gus Anas itu kan untuk kebaikan bersama. Terlebih, beliaulah penyumbang bata, semen dan pasir terbesar untuk pembangunan rumah-rumah ibadah kita semua. Karena peran beliau, akhirnya kita lebih nyaman mendekatkan diri kepada Allah.” Kembali Kang Paidi berkata-kata dengan pandangan kosong pada cangkir kopinya.
“Tapi, saya sendiri juga bingung. Apakah benar ini semua membawa maslahat, atau malah sebaliknya? Bukannya saya tidak paham bahwa berbuat baik untuk orang banyak itu penting. Saya juga sangat setuju apabila warisan nenek moyang kita, mampu memakmurkan anak cucunya.” Kang Paidi menjelaskan dengan nada yang berat.
“Ya, tapi bukan dengan cara merusak sumur begitu. Sumur itu kan satu-satunya sumber air yang kita punya. Kalau sudah begini, bagaimana kita bisa tetap khusyuk shalat di langgar-langgar, lha wong berjalan saja sudah tidak kuat, karena sakit punggung lantaran kurang air?” Kang Sairi merasa tidak puas dengan keberatan Kang Paidi. Ia mengharapkan keberpihakan yang lebih terhadap kemasalahatan umum.
“Lurah anyar itu sebenarnya juga manusia biasa… Jadi, wajar kalau kadang-kadang keliru. Meskipun putera Kyai Imik, belum tentu tidak bisa berbuat kesalahan. Saya sendiri pernah dengar ceramah Kyai Imik, bahwa hanya Kanjeng Nabi Muhammad yang tidak pernah salah. Lha Anas kan hanya lurah biasa…, bukan Nabi…” Mbok Jem tiba-tiba menyambut percakapan para pelanggannya.
Tidak biasanya Mbok Jem turut campur dalam percakapan di warung miliknya. Terlebih dengan cara curhat begitu. Takut mengganggu konsentrasi ngopi para pelanggan. Tapi kali ini mungkin situasinya berbeda. Ada hal yang sangat mendesak, sehingga ia tidak mampu menahan diri untuk berkata-kata.
Sementara itu di rumah Anas, sedang diadakan rapat mendadak. Tiba-tiba ayahnya dengan teman-temannya sesama kyai sepuh, datang ke kediaman puteranya itu. Mereka hendak memastikan apakah betul wabah penyakit yang menimpa banyak orang itu disebabkan oleh karena ulah Anas. Memang sebenarnya adalah hal yang tabu untuk menjual barang-barang kuno warisan leluhur. Takut kualat atau akan datang malapelataka besar.
“Saya datang kemari tentu kamu sudah bisa menduga apa yang menyebabkannya. Janganlah pernah membuat kemudlaratan, baik yang kecil maupun yang besar. Mengambil warisan leluhur dengan cara merusak sumur adalah kemudlaratan bagi orang banyak. Saya tidak pernah mengajarimu hal yang demikian. Camkan itu!” Dengan nada tinggi, Kyai Imik menegur puteranya.
“Sebentar abah, saya memahami keresahanmu. Sebelum melakukan itu semua, sebagai Lurah, sebagai pemimpin, saya bertanggungjawab atas perkara peribadatan rakyat banyak. Saya harus menjamin akidah dan syariat mereka. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud masyarakat yang aman, tentram dan mendapatkan ridlo dari Allah SWT.” Jawab Anas, puteranya.
“Kamu itu..! Kini kamu sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang haqq dan yang bathil! Apakah mungkin mengutamakan ibadah kepada Tuhan, lantas menyebabkan wabah penyakit yang diderita banyak orang? Bagaimana mungkin demi masalah keagamaan, lantas di saat yang sama, harus merusak alam sekitar? Bagaimana mungkin kesakitan massal menjadi prasyarat beribadah dengan leluasa? Apa kamu tidak memahami bagaimana maqashid al-syariah itu diterapkan?” Kyai Imik menyela.
“Sabar abah, tujuan daripada syariat itu ditopang oleh lima fondasi. Yang paling utama adalah memelihara agama, lalu jiwa, lalu akal, harta dan keturunan. Semua yang sudah saya usahakan, tidak lain adalah mengutamakan agama dari yang selainnya. Memelihara agama adalah perkara tertinggi yang tidak dapat diganggu-gugat oleh urusan-urusan duniawi semata. Bagaimana mungkin abah mengajarkan prinsip-prinsip syariat lalu kemudian sekarang hendak mengabaikannya?” Anas mulai menyerang Kyai Imik dengan argumentasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Engkau membaca surat al-Fatihah bukan? Setelah pembukanya, ‘Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang’ lalu apa ayat yang harus kamu baca setiap kali shalat? Bukankah itu ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan bagi seluruh alam?’ Allah bukan hanya Tuhan bagi manusia, juga alam, semuanya.” Kyai Imik membantah.
“Lalu apa hubungannya dengan menjual sumur leluhur kita sendiri?” Seru Anas.
“Hewan, tumbuhan, bintang, bulan, matahari, planet-planet dan bahkan benda-benda mati, semuanya bertuhan kepada Allah yang Maha Agung. Oleh karena itu, kita wajib melestarikan semuanya, menjaga semuanya dan menghormati semuanya sebagai sesama ciptaan Allah.” Abah Anas melanjutkan.
“Menjaga alam, menjaga manusia dan menjaga keadilan semesta adalah tugas yang sangat mendasar daripada ajaran agama Islam. Kalau kamu merusak alam, kamu bukan sekedar membuat kemudlaratan bagi umat manusia, tetapi juga telah menistakan agama Islam yang luhur ini!” Kyai Imik berkata dengan nada tinggi.
fayakhun andriadi
“Saya tegaskan sekali lagi abah. Menjual sumur itu, hasilnya digunakan untuk membangun masjid dan langgar-langgar. Artinya apa? Itu artinya saya telah memperjuangkan tujuan syariat yang pertama, yakni menjaga agama. Tidak ada satupun dalil yang melarang perjuangan agama! Apapun resikonya, agama harus diutamakan. Banyak para sahabat mati syahid di medan tempur karena membela agama Allah.” Anas tersulut api amarah tampaknya.
“Brakkk…!” Kyai Imik menggebrak meja di ruang tamu.
“Anak kurang ajar! Kalau ada apa-apa, aku tidak mau bertanggungjawab. Aku tidak akan membelamu lagi sebagaimana kamu sudah tidak mendengarkan nasehatku. Ayo kita semua pergi meninggalkan tempat terkutuk ini.” Kyai Imik betul-betul marah. Tampaknya, ia betul-betul kecewa dengan apa yang terjadi dengan puteranya itu.
Malam ini adalah malam yang sangat tidak menyenangkan bagi Anas. Ternyata wabah yang menyebar ke orang-orang kampung, dibaca secara akurat oleh ayahnya, Kyai Imik. Sebenarnya Anas sudah mengkhawatirkan ini semua. Semuanya terjadi karena tangannya sendiri, dosa pribadinya. Atau setidaknya, ia telah terlibat dalam upaya perusakan sumber air di sumur keramat. Ia tidak pernah mengira sebelumnya bahwa ia akan melukai hati ayahnya.
Setelah semua orang pergi, datanglah isterinya menghampiri. Ia memeluk Anas dan mencoba menenangkan hati suaminya itu.
“Mas, sebaiknya perlu mengikuti nasehat abah. Apa yang sudah Mas lakukan, bukanlah masalah membela agama atau apapun. Mas pernah bilang, proyek itu sangat menguntungkan. Bahkan bisa menjadi modal untuk mencalonkan diri sebagai Bupati.” Kata Siti Fatimah.
“Kalau aku menjadi Bupati, berikutnya aku pasti menjadi Gubenur. Kalau aku menjadi orang terpandang, tentu semua orang akan bangga bukan? Engkau terutama, pastilah akan menjadi orang yang sangat dihormati.” Jawab Anas dengan membusungkan dadanya.
“Sebenarnya, aku tidak membutuhkan itu semua Mas. Bagiku, aku menjadi isterimu dan bisa menemanimu dalam suka maupun duka, itu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau benar-benar mencintaiku, aku mohon, dengarkanlah nasehat abah… Namun jika engkau masih bersikukuh dengan apa yang engkau inginkan, jangan pernah menyesal dengan apa yang akan terjadi nanti. Mungkin engkau akan kehilangan semuanya, termasuk diriku.” Jawab Fatimah seperti mengucapkan sabda.
“Sayang… jangan berkata seperti itu. Sudahlah… ini hanya masalah politik. Semua orang akan menerimanya setelah aku mendapatkan kursi jabatan yang lebih tinggi. Aku jamin itu.” Anas menanggapi pinta isterinya dengan kata-kata yang penuh ambisi.
Sebenarnya sumur itu terletak di atas bukit. Tentu sulit membangun sumur di ketinggian, kecuali terdapat sumber air yang besar di sana. Dahulu kala, sumur ini dibangun oleh seorang petinggi kerajaan Blambangan. Harapannya dengan membangun sumur itu, maka akan mampu menghidupi orang banyak dengan air yang bersih, segar dan sehat. Karena itu sumur ini dijaga dengan ketat, agar tidak ada satupun orang yang merusaknya. Maka sebagai alat untuk membentengi sumur ini, Pangeran Jogopati telah menanam gaman emas yang sakti mandraguna. Mungkin karena zaman telah berubah, kesaktiannya sudah tak lagi berguna, terutama ketika melawan birahi politik yang meluap hebat.
Dari generasi demi generasi, lurah demi lurah, bupati demi bupati, telah menyepakati hukum adat masyarakat setempat, bahwa sumur itu adalah sumur yang harus dilestarikan keberadaannya. Itulah peninggalan nenek moyang mereka satu-satunya dan merupakan sumber kehidupan yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Berdasarkan pada hukum adat ini, maka oleh Bupati Pertama, diterbitkan Peraturan Penjagaan Sumur Keramat. Sejak saat itu, tak ada satu pun orang yang berani melanggarnya. Di samping itu juga berkembang cerita-cerita tentang makhluk-makhluk gaib yang akan membuat celaka bagi siapa saja yang berniat jahat atau hendak merusak di sekitar areal sumur.
Sampai pada suatu ketika, datanglah para pedagang emas antik dari Jakarta. Para konglomerat bermata sipit ini, merupakan kontestan dalam pameran-pameran benda pusaka di kota-kota besar di dunia. Karena cerita-cerita tentang gaman di dalam sumur keramat ini telah sampai ke telinga mereka, mereka sangat berhasrat untuk memilikinya, berapapun biayanya. Dengan nominal uang yang sangat besar, mereka datang ke kediaman Gubenur di Surabaya. Mereka menjelaskan duduk perkaranya, sehingga membuat Gubenur bertekuk-lutut dan segera membuat Peraturan tentang Izin Eksploitasi Benda Pusaka.
Tidak berlangsung lama, dengan senjata perizinan itu, mereka datang ke Pendopo Bupati di Banyuwangi. Tentu mengalahkan Bupati ini bukan perkara yang gampang. Tapi dengan uang, semuanya bisa diatasi. Yang sempit menjadi lapang, yang rumit menjadi lancar. Dengan uang pelicin yang besar, rupanya Bupati merelakan warisan leluhurnya diambil. Lagipula ia tidak mampu mengalahkan aturan yang lebih tinggi, yang datang dari Gubenur.
Beberapa hari kemudian, Bupati datang ke rumah Gus Anas. Segala niat para bos dari Jakarta disampaikannya kepada Lurah anyar itu. Mula-mula Anas keberatan dengan keinginan atasannya. Tetapi, saat menjelaskan bahwa harga dari benda pusaka itu sangat mahal, mungkin jutaan dolar Amerika, maka luluh juga hatinya. Bupati itu juga menjelaskan bahwa, dengan uang kampanye yang cukup, pada periode Pemilu mendatang, tidak menutup kemungkinan dirinya akan menjadi Gubenur dan tentu saja Anas sebagai Lurah akan menjadi Bupati.
Bukannya Anas tidak tahu akan dampak yang terjadi jika sumur tua itu dibongkar. Akan tetapi ia sudah kadung mabuk harta dan kuasa yang sesungguhnya telah menggelapkan batinnya. Dengan harta dan kekuasaan, tidak ada yang tidak mampu dibelinya. Semuanya akan terbeli.
Di lain pihak, masyarakat sudah sama sekali tidak tampak. Tidak seorang pun muncul di pasar, di jalan-jalan, di pertigaa, di warung kopi dan bahkan di langgar-langgar atau di masjid. Sepi seperti kota mati. Rupanya Kang Paidi memimpin rapat di rumah Kang Sairi. Semua orang-orang tua dan orang yang dituakan hadir di sana.
fayakhun andriadi, “Setelah Mbok Jem meninggal dunia karena ginjalnya rusak, kekurangan air, kini isteri Cak Bejo menyusul. Tegel, kawan kita, juga sedang kritis. Mungkin hidupnya tidak lama lagi. Dan masih terlalu banyak warga yang meninggal karena wabah jahanam yang disebabkan tangan kotor Anas!” Kang Paidi membuka perbincangan dengan penuh keprihatinan dan emosi jiwa.
“Ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Malam ini juga kita harus datang ke rumah Anas, Lurah anyar itu, untuk menuntut pertanggungjawaban. Kalau dia tidak bertanggungjawab, kita gantung saja di tengah-tengah bukit.” Kang Paidi penuh amarah.
Sejurus kemudian, orang-orang itu pergi ke rumah Anas bersama-sama dengan membawa senjata tajam di tangannya masing-masing. Mereka ingin kondisi sumur itu dikembalikan seperti semula. Semua hal yang sudah dirusak harus diperbaiki hingga sempurna seperti sediakala.
Mereka berjalan ke rumah Anas, seperti gerombolan serigala yang lapar. Setibanya di rumah lurah itu, ratusan orang merusak pagar, bangunan-bangunan, mendobrak pintu dan tidak lama kemudian, sudah mencekik Anas yang sedang bertelekan mesra dengan isterinya. Tangan dan kakinya diikat dengan tali. Mereka berdua diseret tanpa busana, dibawa ke bukit tempat sumur keramat itu berada. Anas diikat dipohon beringin besar, sementara isterinya ada di hadapannya, berlutut dengan penuh ketakutan. Mereka dipukul, ditempeleng, diludahi bahkan dikencingi oleh massa yang sudah tak terkontrol amarahnya.
“Sekarang kita telah menanggung akibat dari tangan kotormu. Kau telah merusak sumur, menjual pusaka leluhur kita dan kini telah membunuh banyak orang. Keinginan kami adalah, kau harus mengembalikan semuanya seperti sediakala! Kembalikan gaman Jogopati, kembalikan sumber air dari sumur ini, dan kembalikan pula nyawa orang-orang yang telah pergi karena ulah bejatmu itu!” Kang Paidi muntab.
“Mana mungkin aku mampu melakukan itu semua? Hasil penjualan gaman ada di brankas uang di rumah. Sebagian lagi dimiliki oleh Gubenur dan Bupati. Ambillah semuanya jika kau mau. Aku bukan Tuhan yang mampu mengembalikan alam yang sudah terlanjur binasa begitu. Dan mustahil aku menghidupkan kembali orang yang sudah mati.” Jawab Anas terbata-bata, dengan keresahan dan ketakutan yang hebat.
Tiba-tiba Kang Sairi - yang anak-anak dan isterinya telah meninggal akibat dari wabah penyakit yang mengerikan ini - kalap. Matanya merah, hatinya buta, akalnya adalah iblis yang muram durja. Ia seketika itu merebut pisau belati yang dipegang Kang Paidi. Seperti Singobarong yang sedang haus darah, ia menggorok leher isteri Anas dengan cara yang sangat mengerikan. Isteri Anas berteriak histeris kesakitan dan mendengkur keras karena tenggorokannya telah berlubang.
Dan “Aaaaarhhhhhhh… tidaaaak….!” Rupanya Anas terbangun dari mimpi.
“Kenapa sayang? Engkau bermimpi buruk?” Tanya isterinya sambil membawakan air minum.
“Iyah, aku bermimpi telah menjual pusaka kerajaan Blambangan, merusak sumur keramat dan menutup sumber air di kampung Bukit Tujuh ini. Karena kecerobohanku, aku melihat abah memarahiku dan tidak menganggapku sebagai anak lagi. Aku juga melihat di dalam mimpiku, orang-orang kampung mati karena wabah penyakit kurang air. Lantas mereka beramai-ramai menghakimiku dan ia kemudian…” Anas menceritakan mimpinya, lalu menangis sejadi-jadinya meratapi segala kekeliruan nafsunya yang bersemayam di dalam jiwa.
“Aku mengerti sekarang, aku mengerti. Memimpin itu mengayomi, lalu urip lan nguripi.” Tutur Anas dengan suara yang bergetar.
fayakhun andriadi, Di pagi buta, sebelum pergi ke masjid untuk menunaikan shalat subuh, Anas sengaja pergi ke pasar. Di kala itu, tempat ini ramai sekali dengan hiruk-pikuk para penjual dan pembeli. Yah, mungkin hanya sekedar menyapa warga dan memastikan bahwa segalanya aman, tentram dan terkendali. Terlihat di kejauhan di pertigaan jalan, Kang Paidi, Kang Sairi, Cak Bejo dan Tegel sedang menikmati kopi dan melahap ketan di warungnya Mbok Jem.[]