Minggu, 07 Mei 2017

fayakhun bakamla dan karangan bunga ahok

carita ulang fayakhun bakmala Jum'at (28/4) saya dihubungi TVOne untuk menjadi narasumber Talk Show Apa Kabar Indonesia Pagi. Ini bukan pertama media mengundang saya menjadi narasumber. Tiap kali diundang, selalu bisa saya tolak. Mengapa? Karena saya selalu ingat nasehat guru/dosen saya di UGM, Prof. Heru Nugroho tentang pengkhianatan intelektual sambil mengutip Benda (2007).

fayakhun bakamla dan karangan bunga ahok


Dengan memenuhi undangan di media, para peneliti atau dosen dinilai lebih mengutamakan nilai pragmatis daripada nilai ilmu pengetahuan. Gejala ini dinilai Prof. Heru sebagai intellectual of the spectacle (intelektual pamer). Akibatnya, akademisi dan intelektual tadi terbius oleh hasrat ingin tampil. Tampil di Televisi menjadi candu. Ini kisah tentang terbenamnya keberadaan (being) ke dalam kepemilikan (having) dan kepemilikan dalam penampilan (appearing).
Karena itu sebelum memutuskan menerima atau tidak undangan itu, saya bertanya, "Mengapa memilih saya menjadi narasumber?". Kru TVOne menjawab, "Karena tulisan saya tentang 'Pesta Kembang dan Lemper Ayam' yang viral". Mungkin tulisan yang dimaksud ini:
https://mediaharapan.com/pesta-kembang-dan-lemper-ayam/

Ini poin masuk yang bagus, saya merasa dilibatkan karena gagasan atau pemikiran yang saya usung. Apalagi materinya kemudian dikaitkan dengan perang di media sosial. Suatu isu yang dua tahun ini lagi serius saya jadikan objek penelitian saya. Dengan pertimbangan itu, dalam hati saya mbatin, "Prof. Heru, maafkan saya. Karena ini panggilan ilmu pengetahuan, saya penuhi undangan stasiun TV untuk hadir". kata fayakhun bakamla

Namun dibalik itu sebenarnya ada kecemasan yang nyaris melampaui batas hilangnya akal sehat saya. Tubuh sosial kita remuk karena akal sehat sosial kita seperti kerupuk. Kerupuk jika dikunyah berisik, namun jika dibiarkan gampang masuk angin. Publik bahkan kaum terdidik suka berisik untuk hal yang tidak menarik dan sering masuk angin karena sedikit hawa dingin.
Kena angin sejuta KTP, kena angin sejuta sembako atau yang terbaru kena angin sejuta kembang, langsung masuk angin. Publik menjadi pendiam, bukan takut tapi pendiam. Terdiam karena tercengang, ini yang saya sebut sebagai Woowwww Effect. Semua dibuat masif, mendadak, tiba-tiba dan Wooowwww.... Sehingga tidak ada jeda untuk sekedar memeriksa, bagaimana konstruksi realitas itu terbentuk?

Pada bagian lain inilah yang saya sebut sebagai kampanye impresif. Model ini merupakan dekonstruksi atas konstruksi kampanye persuasif. Melibatkan massa sebanyak-banyaknya, kemudian disebar seluas-luasnya untuk mendapat simpati setinggi-tingginya. Itu semua untuk persiapan meraih hal yang sebesar-besarnya.

karangan bunga untuk ahok


Kampanye bergeser dari ruang politik ke ruang budaya populer. Kampanye tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, kapan saja dimana saja selalu Coca col... eh.. kapan saja dan dimana saja, kalah atau menang, adalah medan kampanye. Kampanye dalam ruang budaya bukan lagi mempersuasi (merayu) khalayak, atau adu visi, gagasan dan program. Kampanye adalah aksi mensublimasi, yaitu usaha untuk menggeser atau mengganti kecenderungan sosial yang ada karena dorongan halus untuk selalu menjadi sublim, yang utama atau yang paling. Seperti yang paling besar, yang paling berani, yang paling militan, yang paling banyak, yang paling lama, dsb.

Hal ini akan terus terjadi dan diproduksi hingga tujuan tercapai atau relasi kuasa dibalik itu dapat dipertahankan. Ini yang kemudian saya jadikan argumen menjadi ancaman bagi terwujudnya demokrasi yang sehat. Demokrasi bukan lagi soal substansial atau prosedural, tapi menjadi persoalan kultural.

menurut fayakhun bakamla, Praktek sublimasi ini langsung atau tidak akan menekan ruang batin publik. Mereka jadi takut berbeda karena praktek kampanye impresif tadi. Dan dalam demokrasi, ini bukan kondisi sakit atau kronis, tapi tidak sehat. Sebab suatu yang tidak sehat belum tentu sakit. Publik menjadi pendiam karena kampanye impresif, itu tidak sehat bagi demokrasi.
Kesadaran ini yang mendasari saya hadir memenuhi undangan TVOne. Kita berbeda itu biasa, tapi publik harus tetap dicerahkan dengan berbagai pandangan alternatif agar mereka kaya perspektif melihat kehidupan sekitarnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar